Rabu, 17 Oktober 2012

Hukum Besi Pendidikan Indonesia


Child Rights Defender Forum


Ada masalah substasial dalam pendidikan kita. Pemaknaan “pendidikan” bukan lagi membentuk manusia sebagai makluk sosial.  Tapi menjadi hebat untuk memangsa (manusia) yang lemah.  


Siapa yang tidak bahagia kalau anaknya menjadi sarjana? Jaman sekarang ini pastinya susah mencari orang yang bilang “tidak.” Pertanyaan yang muncul kemudian: kenapa harus menjadi sarjana? Sederhana! Tanpa sarjana, musnah harapan menjadi pegawai negri, pegawai bank ataupun pegawai-pegawai yang lainya. Tanpa menjadi pegawai, musnahlah harapan mendapat gaji tinggi, mempunyai rumah, mobil, hand phone, makan enak dan sebagainya. Ini adalah hukum besi pendidikan kita.

Sadar atau tidak, kita semua terperangkap di dalamnya. Apa buktinya? Baik, mari kita lihat apa yang telah kita lakukan terhadap anak-anak kita. Di dalam benak kita, mendidik dikatakan berhasil jika anak-anak kita dapat naik kelas atau lulus sekolah dengan nilai yang tinggi. Berbagai cara kita lakukan untuk mencapai ini. Seperti menyuruh les private, membuat jadwal wajib belajar di sore hari dll. Itu dari sisi yang baik. Ada juga yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan semua ini, termasuk cara curang.

Dalam bulan ini, di Surabaya dan Jakarta, terkuak kabar yang melaporkan adanya cara curang untuk sekedar mendapat nilai ujian yang tinggi. Contek massal. Seorang anak yang mempunyai prestasi bagus, diminta untuk menyebarkan jawaban ujianya ke seluruh teman-teman sekelasnya.     

Masalahnya bukan contek-mencontek!

Pernyataan Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh menerangkan bahwa tidak ada kasus contek massal di Surabaya. Pernyataan itu dibuktikan dengan hasil ujian  siswa sekolah tersebut yang bervariasi. Sehingga dengan bukti itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa contek massal tidak terjadi. Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah itu menyelesaikan masalah? jawabanya  tidak!

Permasalahanya bukan pada contek-mencontek, tapi kenapa isu contek massal itu ada? Yang jelas, isu kasus contek masal itu muncul karena ada ujian nasional. Hasil dari ujian nasional ini akan menjadi penentu masa depan anak-anak dan sekolah tersebut. Sekali gagal, satu kesempatan tereliminasi. Sekali gagal, seorang anak akan mendapat lebel “bodoh.” Sekali gagal sekolah yang bersangkutan akan dijuluki “buruk.” Dengan kata lain, penyebab utamanya adalah selembar kertas yang di sebut “Ijazah.”

Selembar kertas ini digunakan untuk mengukur keunikan kemampuan seorang anak. Dengan kata lain, pendewasaan jiwa seseorang disederhanakan dengan angka-angka. Ketika skor yang didapatkan adalah di bawah 5, maka anak tersebut menyandang predikat “bodoh/dungu.” Lalu kemudian yang perlu dijawab adalah: apakah ukuran dengan Ijazah itu benar? Jawabanya tidak!

Fakta telah menunjukan bahwa beberapa anak yang dianggap bodoh di sekolah bahkan mampu melampaui anak terpintar sekalipun. Hal itu akan terbukti kalau kita mau menelusuri biografi beberapa tokoh dunia yang dianggap bodoh ketika mereka duduk di bangku sekolah. Seperti: Albert Einstein, Ludwig van Beethoven, Charles Darwin, Thomas Alva Edison dan masih banyak lagi yang lainya. 

Membongkar pasung pendidikan kita 

Sekitar 39 tahun yang lalu, Ivan Illich mengingatkan bahwa ada yang salah dengan sistem sekolah. Menurutnya, sekolah hanya menciptakan ketergantungan masyarakat untuk menyerahkan pendidikan anak. Padahal sekolah mempunyai berbagai masalah substansial seperti: ukuran kemampuan dengan ijazah, belajar dan menerima pelajaran dll. Oleh karenanya dia mengajukan thesis yang cukup radikal, yaitu hapuskan sekolah.   

Meskipun thesis tersebut sulit untuk diterima, akan tetapi permasalahan substansial tersebut terbukti adanya. Kasus isu contek massal di Surabaya dan Jakarta adalah bukti dari hasil permasalahan substansial tersebut. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain selain mengganti sistem pendidikan yang telah ada.

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dipikirkan kembali yaitu: (1) pengukuran hasil pendidikan sekolah melalui ijazah, (2) prasyarat untuk masuk ke jenjang berikutnya yang masih mengutamakan ijazah, dan yang terakhir (3) prasyarat mencari pekerjaan yang mengutamakan administrasi (ijazah) dari pada kemampuan pelamar.